INGIN SUKSES? . . .
MAU JADI PEMIMPIN DAN PEBISNIS?
. . . MARI BERMAIN, JANGAN BEKERJA!
Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: "belajar!". Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.
Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.
Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.
Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: "Leaders are made, not born".
Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi "ilmu bisnis", wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.
Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.
Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?
Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.
Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?
Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.
Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.
Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.
Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.
Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.
Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.
Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.
Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel. Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.
Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.
Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar "keras" seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.
"Kesia-siaan" mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan "Marketing Mix" 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.
Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat "ulah" para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.
Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?
Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam "arus ilmu pengetahuan" yang dibuat oleh mereka yang "pakar ilmu pengetahuan", sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus "dipaksa" mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.
Pertanyaannya: "Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?"
Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya "The Art Of The Leader" : "Success is acquired by playing hard, not by working hard..".
Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.
Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.
Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
MAU JADI PEMIMPIN DAN PEBISNIS?
. . . MARI BERMAIN, JANGAN BEKERJA!
Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: "belajar!". Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.
Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.
Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.
Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: "Leaders are made, not born".
Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi "ilmu bisnis", wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.
Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.
Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?
Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.
Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?
Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.
Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.
Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.
Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.
Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.
Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.
Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.
Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel. Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.
Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.
Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar "keras" seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.
"Kesia-siaan" mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan "Marketing Mix" 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.
Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat "ulah" para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.
Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?
Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam "arus ilmu pengetahuan" yang dibuat oleh mereka yang "pakar ilmu pengetahuan", sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus "dipaksa" mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.
Pertanyaannya: "Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?"
Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya "The Art Of The Leader" : "Success is acquired by playing hard, not by working hard..".
Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.
Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.
Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Mon 16 Jul 2012, 11:31 by Hery R Suryo
» PARKIR DI MEGA MALL KACA MOBIL DIPECAH MALING
Sun 15 Jul 2012, 23:35 by Hery R Suryo
» tehniksi AC
Tue 22 May 2012, 01:13 by vendrik
» Pusat Franchise Murah Jagung manis,susu kedelai,es krim,teh,kopi,coklat,Jus Terkenal
Sun 07 Aug 2011, 17:28 by revoindonesia
» Peluang Jagung & Potensi susu kedelai
Sun 07 Aug 2011, 17:25 by revoindonesia
» SARAN: Keamanan Mall
Wed 29 Jun 2011, 17:51 by DH
» Ana Bodoh - Ayah Bodoh
Wed 29 Jun 2011, 14:49 by alexander
» SARAN: Warning AOWA
Mon 10 Jan 2011, 13:49 by handayani
» ESAI: Negara Manakah Terkaya di Dunia?
Wed 01 Sep 2010, 00:40 by Administrator
» Shuttle Bus MMBC vs London Bus
Mon 19 Apr 2010, 18:06 by Amy_phang226
» UCAPAN: Selamat Natal & Tahun Baru
Fri 25 Dec 2009, 05:08 by Administrator
» UCAPAN: Selamat 'Iydul Fithri - Mohon Ma'af Lahir dan Bathin
Sat 26 Sep 2009, 08:08 by Administrator
» KULTUM: SHILATURRAHIMI: Kenapa? Untuk Apa? Bagaimana?
Sat 26 Sep 2009, 07:38 by Administrator
» INFO: Hari-Raya Lebaran | 'Iydul Fithri 1 Syawal 1430 H = 20 September 2009 M
Wed 16 Sep 2009, 18:28 by Administrator
» LENSA: Wujud Nyata Toleransi Antar Umat Beragama
Fri 28 Aug 2009, 07:53 by Administrator
» PUASA: Jadwal Sholat dan Imsyak Ramadhan Seluruh Wilayah Indonesia
Sun 23 Aug 2009, 16:37 by Administrator
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #012: IndoMilk Fun Day
Tue 28 Jul 2009, 13:32 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #011: Lomba Jarimatika SeBatam 2009
Tue 28 Jul 2009, 13:20 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #010: BASIC
Tue 28 Jul 2009, 13:15 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #008: Audisi Bintang Indonesia
Tue 28 Jul 2009, 13:00 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #009: Modern Home Sweet Living Exhibition 2009
Tue 28 Jul 2009, 12:51 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #007: Atraksi Ban
Tue 28 Jul 2009, 12:26 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #006: Sekolah Djuwita National Plus
Tue 28 Jul 2009, 12:06 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #005: Gelar Seni-Budaya dan Atraksi Pencak-Silat Serumpun
Tue 28 Jul 2009, 11:43 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #004: Road To Champions
Tue 28 Jul 2009, 11:27 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #003: Fun Day
Tue 28 Jul 2009, 11:16 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #002: Management Event
Tue 28 Jul 2009, 11:06 by Admin
» FOTO: Cuplikan Galeri Foto MMBC #001: MMBC Personnel
Tue 28 Jul 2009, 10:25 by Admin
» INFO: Galeri Foto MMBC
Tue 28 Jul 2009, 09:55 by Admin
» RELIGI: Merenung Sejenak
Mon 20 Jul 2009, 13:25 by DH
» INFO: Uang Pecahan Baru Rp 2.000
Mon 20 Jul 2009, 08:15 by Admin
» NEWS: Jakarta Kembali Diguncang Teror Bom 17-07-09
Mon 20 Jul 2009, 08:10 by Admin
» DAFTAR: Provinsi Indonesia
Mon 20 Jul 2009, 07:43 by Admin
» SERBA-SERBI: Sesal Dahulu Pendapatan. Sesal Kemudian Tak Berguna
Mon 20 Jul 2009, 07:03 by Admin
» NEW FORUMER: Lam Kenal Cemuanya
Mon 20 Jul 2009, 06:58 by Admin
» KONFERENSI PERS SBY: INFO BIN: SBY Akan Ditembak Teroris di Kepala
Mon 20 Jul 2009, 06:51 by Admin
» UNIK: A Very Special Time Forever: 12:34:56 07/08/09
Sun 19 Jul 2009, 07:26 by Admin
» UCAPAN: Selamat Datang
Tue 14 Jul 2009, 05:47 by Admin
» INFO: Peta Jalan Darat RanMor Jawa - Bali dan Jarak Antar Kota
Sat 11 Jul 2009, 08:59 by Admin
» LENSA: Presiden Indonesia
Thu 09 Jul 2009, 03:49 by Admin
» TEKNOLOGI: Kasus Prita dan Teknologi Marketing 2.0
Tue 30 Jun 2009, 13:58 by Admin
» MMBC: Kompetisi Blogger
Fri 15 May 2009, 13:33 by Admin
» WTA: Harga Sewa di Mega Mall Batam Centre
Fri 20 Feb 2009, 17:09 by Tamu
» UCAPAN SELAMAT: Merayakan Cap Go Meh 2560
Sun 08 Feb 2009, 15:56 by Admin
» UCAPAN SELAMAT: Tahun Baru imlek 2560: Gong Xi Fat Cai
Mon 26 Jan 2009, 06:25 by Admin
» UCAPAN SELAMAT: Tahun Baru imlek 2560: Gong Xi Fat Cai
Mon 26 Jan 2009, 06:22 by Admin
» saran untuk management MMBC
Sat 27 Dec 2008, 17:49 by HellScreamers
» Minum kopinya bukan cangkirnya
Thu 27 Nov 2008, 19:32 by DH
» Apalah artinya HARTA namun keluarga dilupakan ? cuplikan dari kutafx
Thu 21 Aug 2008, 09:40 by DH
» Hotel Puri Saron Baruna
Wed 20 Aug 2008, 14:11 by DH